Sering Emosi Bisa Jadi Pemicu Gangguan Gula Darah dan Metabolisme
Pernah merasa tubuh ikut lelah atau kepala pening setelah marah atau stres berat? Itu bukan sekadar sugesti. Faktanya, emosi dan gula darah punya hubungan erat yang sering luput kita sadari. Ketika emosi tidak stabil, tubuh bisa memberi reaksi serius, bahkan dalam bentuk lonjakan gula darah.
Bagaimana Emosi Bisa Menaikkan Gula Darah?
Tubuh merespons emosi seperti marah, cemas, atau stres dengan melepaskan hormon stres, yaitu adrenalin dan kortisol. Tujuannya adalah mempersiapkan tubuh untuk “melawan” atau “kabur”, namun efek sampingnya adalah lonjakan gula darah.
Kortisol meningkatkan resistensi insulin, sehingga gula darah sulit dikendalikan. Bahkan pada orang sehat, stres bisa memicu produksi glukosa berlebih. Glukosa ini tidak terpakai, sehingga tertahan dalam darah dan menyebabkan kadar gula meningkat.

Risiko Diabetes dan Stres Kronis
Stres emosional yang berulang dapat memicu kenaikan gula darah dan memperparah kondisi penderita diabetes. Bahkan pada orang sehat, stres berkepanjangan bisa menimbulkan pola makan emosional dan gangguan metabolik lain.1 Stres kronis meningkatkan hormon kortisol yang memperburuk resistensi insulin, yang merupakan faktor kunci munculnya pradiabetes dan diabetes tipe 2.
Baca Juga: Pengaturan Indeks Glikemik, Beban Glikemik, dan Penghitungan Karbohidrat pada Diabetes Mellitus
Emosi negatif seperti marah atau cemas akan mengaktifkan sistem saraf simpatik. Jantung berdebar, napas memburu, otot menegang, dan kadar gula darah melonjak. Jika respons ini berlangsung terus-menerus, kontrol glukosa pun terganggu.
Penelitian menunjukkan bahwa satu dari empat penderita diabetes tipe 1 dan satu dari lima dengan tipe 2 mengalami diabetes distress, yakni stres emosional akibat pengelolaan penyakit jangka panjang.2,3 Ini termasuk karena mereka dihantui kekhawatiran soal komplikasi, takut hipoglikemia, dan lelah menghadapi fluktuasi gula darah.
Tidak hanya itu, stres berkepanjangan juga membuat gaya hidup sehat sulit dijalani. Kurang gerak, makan sembarangan, dan tidur terganggu, semua ini perlahan meningkatkan risiko gangguan metabolik. Dengan demikian, menjaga emosi tetap stabil bukan hanya soal kesehatan mental, tapi bagian penting dari pencegahan dan pengelolaan diabetes.
Baca Juga: Diet Diabetes Mellitus
Strategi Efektif Mengelola Emosi untuk Menjaga Gula Darah Stabil

Upaya menjaga gula darah tetap stabil bukan hanya soal mengatur makan dan olahraga, tapi juga bagaimana kamu merawat kondisi emosionalmu. Berikut beberapa cara yang bisa dicoba untuk mengelola stres demi kesehatan:
- Latih pernapasan dalam, meditasi, atau doa tenang untuk menurunkan stres harian.
- Terapkan rutinitas tidur yang konsisten untuk menjaga keseimbangan hormon.
- Batasi konsumsi kafein dan gula tambahan, terutama saat merasa tertekan.
- Tuliskan isi pikiran dan perasaan dalam jurnal untuk mengekspresikan emosi secara sehat.
- Lakukan aktivitas fisik ringan seperti berjalan santai, bersepeda, atau yoga.4
Saat kita stres, bagian otak seperti amigdala (pengatur emosi), hipokampus (pengatur memori), dan hipotalamus (pengendali hormon) akan bekerja sama memicu respons stres. Jika tidak terkelola dengan baik, sistem ini dapat memicu pelepasan hormon kortisol, yang berdampak pada peningkatan kadar gula darah.
Namun, saat kita belajar mengelola stres secara positif, misalnya dengan relaksasi atau perawatan diri, kadar kortisol bisa turun dan sensitivitas insulin pun membaik. Jadi, menjaga kesehatan mental bukan hanya soal perasaan, tapi juga penting untuk kesehatan metabolik secara keseluruhan.5
Jaga Emosi, Jaga Kesehatan
Tubuh dan pikiran bekerja dalam satu kesatuan. Ketika kamu membiarkan stres, marah, atau emosi negatif berlarut-larut, tubuhmu akan merespons dengan cara yang bisa berdampak jangka panjang. Emosi dan gula darah bukan dua hal yang terpisah, melainkan bagian dari ekosistem tubuh yang saling memengaruhi.
Mulai hari ini, dengarkan sinyal tubuh! Jangan abaikan kelelahan mental atau perubahan emosi yang terasa mengganggu, karena bisa jadi tubuhmu sedang berusaha menjaga keseimbangannya dan butuh bantuan darimu.
Dengarkan tubuh dan pikiranmu. Jangan tunggu stres jadi penyakit. Mulai dari langkah kecil, seperti tarik napas secara dalam, beri ruang untuk tenang, dan hargai emosimu. Sehat itu bukan cuma soal fisik, tapi juga soal hati yang tenang dan pikiran yang damai.
Referensi
- Al-Hassani, I., Khan, N. A., Elmenyar, E., Al-Hassani, A., Rizoli, S., Al-Thani, H., & El-Menyar, A. (2024). The Interaction and Implication of Stress-Induced Hyperglycemia and Cytokine Release Following Traumatic Injury: A Structured Scoping Review. Diagnostics, 14(23), 2649. 1-21. https://doi.org/10.3390/diagnostics14232649
- Suri, S. I. (2024). Hubungan Tingkat Stres dengan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitusdi Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Padang Panjang. Jurnal Kesehatan Lentera’Aisyiyah, 7(1), 11-19. https://jurnal.politasumbar.ac.id/index.php/jl/article/view/195
- Chinedu, A. C., & Foluso, O. (2023). Diabetes distress: The untold hidden struggle of living with diabetes mellitus. Afr J Health Nurs Midwifery, 6(2), 99-111. https://doi.org/10.52589/ajhnm-98vrwpip
- Amanullah, A. S. R. (2022). Mekanisme pengendalian emosi dalam bimbingan dan konseling. Conseils: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 2(1), 1-13. https://ejournal.unsuda.ac.id/index.php/bki/article/download/112/101/266
- Chu, B., Marwaha, K., Sanvictores, T., Awosika, A. O., & Ayers, D. (2024). Physiology, stress reaction. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK541120/
