UPF di Menu MBG: Perlu Dihapus, atau Cukup Dibatasi?
Ketika isu Makan Bergizi Gratis (MBG) ramai dibicarakan, muncul satu topik yang tidak kalah panas, yakni haruskah Ultra Processed Food (UPF) dihapus dari menu MBG? Sebagian pihak mendesak penghapusan total makanan olahan seperti nugget, sosis, atau biskuit.1 Namun di sisi lain, pernyataan terbaru Badan Gizi Nasional (BGN) justru menyebut bahwa UPF tidak sepenuhnya dilarang, hanya harus mengutamakan produk UMKM lokal.2
Pertanyaannya, kalau memang UPF berisiko, kenapa tidak dilarang saja? Dan apakah semua UPF sama saja bahayanya? Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu melihat isu ini secara lebih jernih, baik dari sisi kebijakan maupun ilmu gizi.
Apa Itu Ultra Processed Food (UPF) ?

Menurut klasifikasi NOVA, Ultra-Processed Foods (UPF) adalah produk pangan yang mengalami banyak proses industri dan biasanya mengandung bahan yang tidak digunakan di dapur rumahan. Proses ini bertujuan meningkatkan rasa, warna, tekstur, atau umur simpan, sehingga makanan jadi lebih menarik dan tahan lama.3
Cara paling mudah mengenali UPF adalah dengan melihat daftar bahannya. Jika ada satu bahan saja yang tidak umum dipakai memasak di rumah, misalnya maltodekstrin, protein isolate, high-fructose corn syrup, hydrogenated oil, atau buah dalam bentuk concentrate, maka besar kemungkinan produk itu termasuk UPF.
UPF juga sering mengandung kelas aditif khusus seperti flavour enhancer, emulsifier, artificial sweetener, colouring, thickener, atau gelling agent. Aditif ini biasanya muncul di bagian akhir daftar bahan.
Di sisi lain, perlu dipahami bahwa tidak semua makanan olahan otomatis termasuk UPF. Contohnya:
- Susu pasteurisasi.
- Roti berbahan tepung, air, garam, ragi adalah makanan olahan sederhana, tetapi menjadi UPF bila mengandung emulsifier atau pewarna.
- Sereal oat plain adalah minimal processed, tetapi berubah menjadi UPF bila diberi rasa, pewarna, atau pemanis buatan.
Jadi, fokus utama NOVA adalah tingkat pemrosesan dan jenis bahan yang ditambahkan, bukan sekadar “makanan sehat atau tidak sehat”.
Kenapa UPF Banyak Diperdebatkan?
UPF menjadi sorotan karena semakin banyak penelitian yang menunjukkan dampak negatifnya bagi kesehatan, terutama jika dikonsumsi sering dan dalam jumlah besar, bukan dari satu atau dua porsi saja.
Pertama, konsumsi UPF dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas hingga 26% dan penyakit kardiovaskular sebesar 35%.4 Hal tersebut karena produk ini cenderung mengandung tinggi kalori, gula, dan lemak, tetapi rendah zat gizi penting.7
Kedua, pola makan tinggi UPF dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan memicu peradangan, yang berkontribusi pada sindrom metabolik dan gangguan metabolisme lainnya.5
Selain itu, dominasi UPF dalam pola makan membuat banyak orang kekurangan vitamin dan mineral, karena makanan utuh yang kaya gizi tergantikan oleh produk ultra-proses yang nilai gizinya minim.6
Akan tetapi, masalah UPF bukan sekadar soal “makanan olahan”, melainkan karena konsumsi berulang yang dapat merusak kualitas diet dan meningkatkan risiko penyakit jangka panjang.
Baca Juga: ULTRA-PROCESSED FOODS PENGHANCUR DIET ?
Bagaimana MBG Memposisikan Produk UPF?

Pedoman pelaksanaan MBG memang menegaskan agar nugget, sosis, tempura, bakso instan, dan makanan olahan lainnya yang diawetkan dihindari atau dibatasi. Arahan ini selaras dengan prinsip konsumsi pangan minim olahan untuk meningkatkan kualitas gizi anak.
Namun ada satu hal menarik, yakni susu kental manis yang jelas tergolong UPF, tetap tercantum dalam pedoman MBG. Bahkan, diberikan instruksi teknis penyimpanannya secara rinci:
- Simpan susu kental manis yang telah dibuka di dalam kulkas dan dalam wadah tertutup.
Pencantuman yang begitu spesifik ini menunjukkan bahwa pedoman MBG memberi ruang penggunaan UPF tertentu, selama:
- penggunaannya diawasi,
- memiliki nilai gizi yang relevan, dan
- sesuai dengan kebutuhan program.
Dengan kata lain, keberadaan susu kental manis dalam pedoman menegaskan bahwa UPF di MBG tidak diperlakukan secara hitam-putih. Penilaiannya lebih bertumpu pada konteks, keamanan, dan kebutuhan intervensi gizi di lapangan, bukan sekadar kategori tingkat proses pengolahannya.
Baca Juga: [PDF] Pedoman MBG 2025 Resmi Dirilis: Simak Sasaran & Standar Gizinya!
Contoh Penggunaan UPF dan Pertimbangan Penting Lainnya
Dalam praktik lapangan, beberapa jenis UPF memang pernah digunakan dalam program pangan massal karena sifatnya yang stabil, terjangkau, dan mudah disalurkan. Beberapa contoh produk yang umum digunakan antara lain:
- susu UHT atau susu bubuk fortifikasi
- biskuit fortifikasi
- roti tawar
- tahu/tempe kemasan yang telah memenuhi standar keamanan pangan
Namun, sejumlah pihak juga mengingatkan bahwa produk UPF seperti biskuit dan roti kemasan sebaiknya tidak menjadi pilihan utama dalam intervensi gizi. Dalam konteks MBG, terdapat rekomendasi agar menu lebih banyak mengutamakan pangan lokal sekitar 80%, sehingga porsi realistis untuk produk UPF sebenarnya relatif kecil, kurang lebih 20%. Penggunaan UPF biasanya dipertimbangkan dalam kondisi tertentu, misalnya:
- akses pangan segar sangat terbatas,6
- kebutuhan logistik memerlukan pangan yang stabil dan mudah distribusinya,
- produk memenuhi standar gizi serta keamanan pangan.
Dengan demikian, beberapa UPF dapat tetap muncul dalam implementasi MBG, tetapi sifatnya lebih sebagai penunjang ketika kondisi daerah menuntutnya, bukan sebagai dasar menu. Fokus utama tetap memastikan pangan yang disediakan bernilai gizi, aman, dan sesuai konteks lokal.4
Yuk, Bangun Dialog UPF yang Lebih Bijak
Keputusan penggunaan UPF dalam MBG tidak bisa hanya berdasarkan label kategorinya, tetapi harus menilai apakah produk tersebut aman, mendukung gizi anak, terjangkau, dan realistis diterapkan di lapangan. Pendekatan ini memberi ruang untuk membatasi jenis UPF yang berisiko tinggi, sambil tetap memanfaatkan produk tertentu yang memang relevan secara gizi dan operasional tanpa menggantikan pangan segar.
Pada akhirnya, diskusi mengenai UPF membuka percakapan yang lebih luas tentang bagaimana memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan pangan yang bergizi dan berkelanjutan. Tenaga kesehatan, masyarakat, dan pembuat kebijakan sama-sama memiliki peran untuk mendorong keputusan yang berbasis bukti, kontekstual, dan benar-benar berpihak pada kualitas gizi anak.
Referensi
- Badan Gizi Nasional. (2025, 27 September). BGN larang makanan ultra proses di MBG, wajib utamakan produk lokal. Biro Hukum & Humas BGN. https://www.bgn.go.id/news/berita/bgn-larang-makanan-ultra-proses-di-mbg-wajib-utamakan-produk-lokal
- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2024). Komisi IX desak BGN larang total ultra processed food dalam menu MBG. JDIH DPR RI. https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/59927/t/Komisi+IX+Desak+BGN+Larang+Total+Ultra+Processed+Food+dalam+Menu+MBG
- Monteiro, C.A., Cannon, G., Lawrence, M., Costa Louzada, M.L. and Pereira Machado, P. 2019. Ultra-processed foods, diet quality, and health using the NOVA classification system. Rome, FAO. https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/5277b379-0acb-4d97-a6a3-602774104629/content?
- The Global Public Health Consequences of Ultra-Processed Food Consumption: A Comprehensive Systematic Review of Epidemiological Evidence, Mechanisms, and Policy Interventions. (2024). Journal of Angiotherapy. https://doi.org/10.25163/angiotherapy.8810394
- Rác, M., Janicko, M., Koller, T., & Skladaný, Ľ. (2023). Ultra-processed food – a threat to liver health. Gastroenterologie a Hepatologie, 77(2), 123–129. https://doi.org/10.48095/ccgh2023123
- McClements, D. J. (2024). Designing healthier and more sustainable ultraprocessed foods. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 23(2), e13331. https://doi.org/10.1111/1541-4337.13331
- Temple, N. J. (2024). Making Sense of the Relationship Between Ultra-Processed Foods, Obesity, and Other Chronic Diseases. Nutrients, 16(23), 4039. https://doi.org/10.3390/nu16234039
