Apa itu Food Neophobia ?

Picky eating dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak, masalah lain yang terjadi pada anak yaitu Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (Food Neophobia). Hal tersebut diketahui merupakan jenis gangguan makan yang berupa memilih makanan, mengalami keterbatasan dalam makan, atau keengganan makan di depan orang lain sampai menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Definisi

Food neophobia and picky eating (FNPE) adalah ketidakmauan untuk mengonsumsi makanan baru atau asing dan penolakan terhadap sejumlah besar makanan yang familiar maupun makanan asing. FNPE yang berlebihan dapat menimbulkan masalah. Karena variasi pilihan makanan yang terbatas dapat mempengaruhi status gizi dan kesejahteraan anak serta meningkatkan risiko terjadinya masalah gizi pada anak. Secara umum picky eating termasuk sebuah penolakan, keengganan, atau pembatasan makanan yang sudah dikenal dan makanan yang tidak dikenal, dan dengan demikian termasuk dalam kategori food neophobia.​1​

Sikap terhadap makanan yang terwujud dalam keengganan untuk mengkonsumsi makanan baru, menghindari produk yang belum dikenal rasanya, dan ketidakmampuan menerima rasa atau konsistensi yang tidak dikenali dari makanan. Konsekuensi kesehatan dari food neophobia adalah keseimbangan negatif terhadap kebutuhan zat gizi. Karena food neophobia berpotensi menurunkan konsumsi produk makanan yang kaya akan zat gizi.​2​

Food Neophobia vs Fussy Eating

Sikap terhadap makanan berupa keengganan untuk mengkonsumsi makanan baru, menghindari produk yang belum dikenal rasanya, dan ketidakmampuan menerima rasa atau konsistensi yang tidak dikenali dari makanan. Bentuk penolakan ini terwujud dalam keengganan, rasa takut, reaksi emosi yang berlebihan, dan minimnya keterbukaan terhadap berbagai bentuk sensori makanan; bahkan terhadap makanan yang sebelumnya telah dikenal namun terlihat baru saat disajikan.​2​

Food neophobia tergolong ke dalam avoidant/restrictive food intake disorders (ARFID). Terapi terhadap kelainan ini menggunakan prinsip pengenalan dan pembiasaan (familiarization), sehingga food neophobia diklasifikasikan sebagai phobia. Kelainan seperti pickiness atau fussiness lebih dikaitkan dengan menolak untuk mengkonsumsi makanan yang telah dikenali maupun yang belum dikenali, sehingga berkaitan dengan jumlah asupan makanan yang menurun. Pickiness dan fussiness bersifat sementara dan biasanya terjadi pada anak dengan usia 2-3 tahun. Studi oleh Pelchat dan Pliner menyatakan bahwa perilaku neophobia tergolong sebagai perilaku pilih-pilih makan atau rewel. Namun pickiness dan fussiness tidak tergolong ke dalam food neophobia. Karena anak-anak tetap mempelajari flavor makanan yang baru.​2​

Baca Artikel : Mengatasi Anak Susah Makan Tanpa Stres

Determinan

Beberapa determinan Food Neophobia antara lain :

Usia

Terkait faktor biologis, studi menyatakan bahwa tingkat kejadian food neophobia yang tinggi pada ibu berkaitan dengan kejadian food neophobia pada anak-anaknya. Terutama pada anak perempuan. Insidensi food neophobia tertinggi pada usia 2-6 tahun. Kemudian menurun pada saat remaja dan dewasa. Meningkat kembali pada masa lansia. Peningkatan neophobia pada lansia dipahami sebagai mekanisme perlindungan alami dari keracunan makanan. Pengalaman dan percobaan terhadap rasa di masa awal kehidupan akan mempengaruhi kesan terhadap rasa di masa akhir kehidupan. Hal ini terlihat bahwa bayi yang mendapat ASI akan lebih terbuka dan merasakan berbagai rasa makanan alami yang dikonsumsi oleh ibu. Sedangkan bayi yang menerima susu formula atau modifikasi lebih terpaku dan terbiasa dengan rasa-rasa tertentu saja. ​2​

Preferensi Rasa

Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang menerima ASI dari ibu yang mengkonsumsi jus wortel cenderung lebih mengkonsumsi puree wortel dibandingkan ibu yang tidak mengkonsumsi jus wortel saat kehamilan atau menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa mekanisme fisiologis utama terhadap rasa adalah cenderung menyukai rasa manis dan asin, serta menghindari rasa asam dan pahit sebagai bentuk peringatan terhadap kandungan zat beracun. Sayuran seringkali dihindari karena adanya respon yang hipersensitif terhadap rasa pahit. Sensitivitas terhadap rasa pahit ditentukan oleh faktor genetik, sedangkan persepsinya ditentukan oleh jumlah papila pada lidah.​2​

Baca : Persepsi dan Preferensi Rasa pada Bayi

Psikologis

Terkait faktor psikologis dan personaliti, ada korelasi positif antara rasa malu, ketidakstabilan emosi, rasa khawatir, sifat menutup diri, dan sifat labil terhadap intensitas food neophobia. Keengganan untuk mengkonsumsi makanan juga dapat disebabkan oleh pengenalan terhadap makanan yang terlambat pada anak. Keterbukaan terhadap rasa baru yang paling tinggi terjadi pada usia hingga 12 bulan, kemudian menurun seiring usia. Hal yang dapat mendukung penerimaan terhadap makanan adalah pengenalan yang berulang (tidak hanya 1 kali lalu berhenti karena adanya pengalaman yang negatif) dan mengoptimalkan kondisi sensori makanan saat mengenalkannya ke anak-anak. Studi menunjukkan bahwa dari pengenalan makanan terhadap anak-anak, hanya 10-15% yang berhasil dengan baik atau mendapat pengalaman positif.​2​

Pola Asuh

Pengasuh juga memiliki peran yang penting, karena perilaku anak, termasuk perilaku makan terbentuk dari pengamatan dan imitasi terhadap orang-orang di sekitarnya. Penelitian Harper dan Sander menyatakan bahwa seorang anak akan cenderung mencoba makanan baru apabila orangtua mereka juga memakan makanan tersebut dan memberikan reaksi yang menarik. Analisis oleh Van der Horst menyimpulkan bahwa melibatkan anak dalam proses penyiapan makanan juga meningkatkan penerimaan terhadap makanan tersebut. Pada anak yang lebih besar, penerimaan terhadap makanan akan dipengaruhi oleh teman-teman mereka.​3​

Tekanan dan paksaan dari orangtua yang otoriter untuk memakan sesuatu yang tidak disukai dapat meningkatkan keengganan anak untuk makan. Ketika anak dipaksa untuk makan sesuatu yang tidak mereka inginkan, mereka akan merasa khawatir, tegang, dan merasa benci dengan produk makanan tersebut. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Rigal et al bahwa kesulitan dalam memberikan makan pada anak usia 20-36 bulan disebabkan oleh pola asuh orangtua yang terlalu otoriter. Menariknya, pola asuh permisif tidak meningkatkan keinginan anak untuk mencoba produk atau makanan baru. Pemaksaan preferensi orangtua terhadap anak juga tidak disarankan, karena akan menghambat anak dalam belajar mencoba berbagai macam makanan serta menghambat mereka dalam mengembangkan preferensi makan individual.​2​

Dampak Food Neophobia bagi Kesehatan

Perilaku neophobic memiliki dampak yang signifikan terhadap status gizi masa kanak-kanak dan pola diet anak di masa depan. Pemenuhan gizi pada anak dapat memberikan perkembangan fisik dan mental yang optimal, sehingga berkontribusi terhadap penurunan risiko penyakit terkait diet. Food neophobia dapat menyebabkan pola diet menjadi tidak seimbang dan penurunan konsumsi makanan yang kaya akan zat gizi. Kejadian food neophobia pada anak dengan alergi, intoleransi laktosa, diabetes mellitus juga menjadi masalah gizi yang krusial karena keengganan untuk mencoba makanan baru dapat menghambat terapi gizi dan pemulihan. Hingga saat ini, studi menyatakan bahwa belum ada hubungan antara kejadian food neophobia dengan penurunan berat badan pada anak-anak.​2​

Lebih Lanjut : Peningkat Nafsu Makan Anak

Hubungan antara Praktik Pemberian Makan, Food Neophobia, dan Picky Eating

Praktik pemberian makan orang tua diketahui memainkan peran penting dalam membentuk preferensi diet, perilaku, dan sikap anak terhadap makanan. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa gaya pemberian makan orang tua memengaruhi perilaku makan anak-anak dan status berat badan. ​1​

Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan dua arah antara strategi “pressure to eat” dan lingkungan makanan rumah yang sehat dan FNPE. Hubungan dua arah yang positif antara praktik pressure feeding oleh ibu dengan FNPE. Selain itu, kecenderungan yang lebih tinggi untuk menyediakan lingkungan makanan rumah yang sehat berkaitan dengan skor yang lebih rendah pada FNPE, sedangkan FNPE pada anak-anak memperkirakan kecenderungan ibu yang lebih rendah untuk menyediakan lingkungan makanan rumah yang sehat.​1​

Hubungan FNPE dengan praktik pressure feeding adalah dua arah. Para ibu mungkin khawatir tentang anak-anak mereka yang pilih-pilih atau tidak mau mencoba makanan baru, sehingga memunculkan penggunaan pressure feeding untuk menegakkan kebiasaan dan praktik makan yang lebih sehat. Studi lain juga melaporkan bahwa menggunakan tekanan dalam pemberian makan pada usia 4 tahun memprediksi tingkat PE yang lebih tinggi pada anak-anak pada usia 6 tahun.​1​

Penyediaan lingkungan makanan rumahan yang sehat secara negatif terkait dengan FNPE pada anak-anak, sementara tidak ada hubungan seperti itu yang diamati dengan penggunaan praktik pengajaran atau pemantauan ibu. Pemilih makanan cenderung meningkatkan penerimaan mereka terhadap makanan jika mereka terpapar pada lingkungan makanan rumahan yang sehat. Strategi pemantauan dan pengajaran dapat meningkatkan pengetahuan anak-anak tentang pilihan makanan sehat dan mungkin meningkatkan penerimaan mereka terhadap makanan di masa kanak-kanak nanti.​1​

Referensi

  1. 1.
    Kutbi HA. The Relationships between Maternal Feeding Practices and Food Neophobia and Picky Eating. IJERPH. Published online May 31, 2020:3894. doi:10.3390/ijerph17113894
  2. 2.
    Qiu C, Hou M. Association between Food Preferences, Eating Behaviors and Socio-Demographic Factors, Physical Activity among Children and Adolescents: A Cross-Sectional Study. Nutrients. Published online February 28, 2020:640. doi:10.3390/nu12030640
  3. 3.
    Fries LR, van der Horst K. Parental Feeding Practices and Associations with Children’s Food Acceptance and Picky Eating. In: Nestlé Nutrition Institute Workshop Series. S. Karger AG; 2019:31-39. doi:10.1159/000493676

Ayu Rahadiyanti

Executive Editor Ahli Gizi ID | Lecturer | Writer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *