Sumber: Freepik
Pernah lihat video aesthetic dinner di TikTok yang berisi keju, biskuit, buah, dan segelas anggur putih? Itulah yang kini viral dengan nama tren girl dinner, yakni gaya makan “minimalis” yang katanya cukup bikin kenyang dan cute untuk difoto. Tapi di balik tampilannya yang cantik, banyak ahli gizi menilai tren ini bisa berdampak negatif jika diikuti tanpa memahami kebutuhan tubuh.
Secara sederhana, tren girl dinner menggambarkan kebiasaan makan malam sederhana berupa paduan kecil dari makanan ringan seperti keju, buah, atau roti. Awalnya, tren ini muncul sebagai bentuk self-care agar makan terasa ringan tanpa stres menyiapkan hidangan rumit.
Namun, seiring viralnya di TikTok, konsep ini bergeser menjadi gaya hidup estetik yang lebih menonjolkan tampilan daripada kebutuhan tubuh.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial mengubah makna makan, yakni dari kebutuhan biologis menjadi simbol identitas dan estetika. Piring kecil berisi buah, keju, dan roti kini dianggap “cantik” dan “tenang dilihat,” seolah mencerminkan perempuan yang effortless namun tetap elegan.
Sayangnya, di balik estetika tersebut tersimpan risiko kekurangan gizi dan tekanan citra tubuh. Pola makan minimalis semacam ini sering kali tidak mencukupi kebutuhan zat gizi dan memperkuat persepsi keliru bahwa “makan sedikit berarti cantik dan terkontrol.”
Hal yang membuat tren girl dinner populer adalah tampilannya yang rapi dan vibe-nya yang tenang. Namun, dari sisi gizi, pola makan ini sering kali tidak memenuhi kebutuhan makronutrien seperti karbohidrat kompleks, protein, dan lemak sehat. Banyak menu hanya berisi makanan tinggi lemak jenuh dan gula sederhana, seperti biskuit, buah manis, atau keju tinggi garam.
Jika dilakukan terus-menerus, pola ini dapat menyebabkan kekurangan zat gizi penting seperti zat besi, serat, dan vitamin B kompleks. Dampaknya, tubuh menjadi cepat lelah, sulit fokus, dan berisiko mengalami gangguan metabolisme dalam jangka panjang. Pola seperti ini mencerminkan tren minimalisme dalam makanan, di mana tampilan estetik sering kali lebih diutamakan daripada nilai gizinya.
Baca Juga: Diet Minimalis: Perpaduan antara Kesederhanan dan Gizi Seimbang
Pengaruh media sosial juga memperkuat tren ini, karena banyak pengguna meniru menu aesthetic di TikTok tanpa menyadari bahwa makanan tersebut sebenarnya kurang bergizi.1 Selain itu, girl dinner selaras dengan pola diet fad yang lebih menekankan tampilan fisik daripada kesehatan, sehingga dapat meningkatkan risiko defisiensi zat gizi dan gangguan metabolik jika dijalankan terus-menerus.2,3
Fenomena tren girl dinner juga tidak lepas dari masalah citra tubuh. Banyak konten menampilkan tubuh ideal berdampingan dengan porsi makan kecil, seolah menggambarkan “cewek yang teratur dan langsing.” Padahal, jika dilihat lebih dalam, hal ini justru memperkuat tekanan sosial terhadap perempuan bahwa “makan sedikit itu cantik.”
Beberapa pakar psikologi gizi menyebut bahwa tren girl dinner dapat memicu disordered eating, yaitu pola makan tidak teratur yang belum termasuk gangguan makan klinis, namun dapat berkembang menjadi serius jika dibiarkan. Kondisi ini diperburuk oleh perbandingan sosial, di mana pengguna media sosial cenderung menilai kebiasaan makannya dengan membandingkan diri pada citra ideal yang dikurasi secara online. Proses ini kerap menimbulkan ketidakpuasan tubuh dan perilaku makan yang tidak sehat.4
Lebih jauh, paparan berulang terhadap konten seperti ini dapat memunculkan efek psikososial berupa penurunan harga diri dan peningkatan kecemasan terkait citra tubuh, terutama pada wanita muda yang berusaha menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang dibentuk media sosial.3,5
Bukan berarti kamu harus menghindari tren girl dinner sepenuhnya. Konsep ini tetap bisa dinikmati, asal disesuaikan dengan prinsip gizi seimbang. Kuncinya adalah menyeimbangkan antara estetika, kenyamanan, dan kecukupan zat gizi harian.
Agar tetap sehat, kamu bisa melakukan beberapa penyesuaian sederhana:
Dengan sedikit kreativitas, tren girl dinner bisa menjadi momen mindful eating, yakni menikmati makanan dengan sadar tanpa mengabaikan kebutuhan tubuh.
Pada akhirnya, tren girl dinner menunjukkan bagaimana media sosial dapat membentuk cara kita melihat makan dan tubuh. Tren ini memang tampak ringan, tetapi bisa memengaruhi cara berpikir tentang “makan yang cukup” dan “tubuh yang ideal.”
Kita semua berhak menikmati makanan tanpa rasa bersalah dan tanpa membandingkan isi piring kita dengan yang viral di TikTok. Perlu dipahami bahwa tubuh yang sehat dan bahagia berawal dari pola makan yang penuh cinta, bukan sekadar estetik untuk kamera.
Kalau kamu pernah ikut arus tren girl dinner, coba renungkan lagi: apakah kamu makan karena lapar, atau karena ingin terlihat aesthetic? Mulai hari ini, ubah tren itu jadi your dinner, your balance, isi piringmu dengan warna, rasa, dan gizi yang benar-benar bikin tubuhmu berterima kasih.
Rutinitas pagi sering membuat kita lupa, bahwa tubuh juga butuh perhatian. Segelas susu dan biskuit…
Pernahkah kamu berpikir bahwa tidak semua bubur bayi instan yang beredar di pasaran memiliki kualitas…
Bagi pecinta kopi yang memiliki riwayat hipertensi atau tekanan darah tinggi, ada baiknya mulai memperhatikan…
Pernahkah kamu berpikir, bagaimana para ahli bisa tahu apakah pola makan masyarakat itu sehat atau…
Bayangkan, sebuah program yang seharusnya menjadi solusi gizi anak justru berubah menjadi ancaman kesehatan. Itulah…
Pernah nggak, kamu merasa sudah jarang minum teh manis atau kopi susu, tapi kok kadar…