Kesehatan dan Gizi lainnya

Mengapa Suhu Jadi Salah Satu Penentu Keamanan Pangan MBG?

Kalau mendengar kasus keracunan makanan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG), kebanyakan orang langsung menyalahkan bahan yang “kurang segar”. Padahal, salah satu penyebab paling umum dalam kejadian keracunan makanan justru jauh lebih sederhana, yakni karena suhu yang tidak tepat selama pengolahan, penyimpanan, hingga penyajian.

Dalam program berskala besar seperti MBG, faktor ini semakin krusial karena makanan harus berpindah dari dapur produksi ke sekolah-sekolah dalam waktu singkat. Begitu rantai suhunya terganggu, risiko kontaminasi bisa meningkat drastis.

Mengapa Suhu Jadi Titik Kritis Keamanan Pangan?

Suhu merupakan faktor eksternal yang sangat menentukan pertumbuhan mikroba karena dapat memengaruhi fase lag (fase adaptasi awal sebelum mikroba mulai berkembang biak), laju pertumbuhan, aktivitas enzim, serta kemampuan mikroba dalam menyerap zat gizi dari bahan pangan.1

Suhu menjadi titik kritis dalam keamanan pangan karena berpengaruh langsung terhadap kecepatan pertumbuhan mikroba patogen. Misalnya bakteri seperti Salmonella, E. coli, Campylobacter, dan Staphylococcus aureus bisa berkembang sangat cepat pada rentang suhu 5°C–60°C.

Dalam praktik keamanan pangan, rentang ini dikenal sebagai Danger Zone (5°C–60°C). Pada suhu tersebut, bakteri dapat melipatgandakan jumlahnya dengan cepat. Akibatnya, makanan yang dibiarkan pada suhu ruang selama 3–4 jam dapat berubah dari aman menjadi berbahaya, meskipun bahan awalnya segar atau sudah dimasak dengan baik.11,17

suhu jadi faktor penentu keamanan pangan
Sumber: Freepik

Hal ini juga disoroti oleh salah satu studi bahwa patogen seperti Staphylococcus aureus dapat tumbuh secara signifikan pada rentang 10°C–54,4°C, sehingga diperlukan batas waktu yang ketat selama penanganan dan penyimpanan makanan untuk mencegah produksi toksin.2

Dalam konteks MBG, risiko ini semakin besar karena makanan diproduksi dalam jumlah besar, harus dikemas dan dikirim ke sekolah, tidak semua sekolah memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai, dan makanan sering tiba lebih awal sebelum waktu konsumsi. Seluruh tahapan ini sangat bergantung pada pengendalian suhu yang konsisten.

Kontrol suhu juga perlu diperhatikan dalam proses pemanasan. Misalnya untuk protein, suhu pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi, yakni kondisi rusaknya struktur fisik protein.1

Termasuk praktik pendinginan juga sangat penting untuk menjaga keamanan pangan. Jika proses pendinginan dilakukan terlalu lambat, misalnya makanan dibiarkan lama di suhu ruang sebelum dimasukkan ke kulkas, maka suhu makanan tetap berada di kisaran yang hangat. Kondisi ini memungkinkan bakteri seperti Listeria tetap berkembang.3

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa suhu menjadi faktor yang cukup penting dalam konteks keamanan pangan.

Suhu Berapa yang Dikategorikan Aman?

suhu aman untuk menyimpan makanan
Sumber: Badan Gizi Nasional (https://www.bgn.go.id/news/artikel/bgn-ajak-masyarakat-daftar-jadi-mitra-mbg-sudah-22000-calon-terdaftar-tanpa-dipungut-biaya)

Keamanan pangan sangat bergantung pada cara kita menjaga suhu makanan. Berikut panduan suhu aman berdasarkan hasil penemuan beberapa studi.

1. Suhu Memasak Aman (Safe Cooking Temperatures)

a. Daging, Unggas, dan Produk Hewani Lainnya

  • Unggas (ayam, bebek, kalkun): 74°C
    Suhu ini memastikan patogen seperti Salmonella dan Campylobacter mati.4
  • Daging giling (sapi, ayam, kalkun): 71°C
    Daging giling berisiko lebih tinggi karena tercampur ke seluruh bagian.5
  • Daging utuh (whole cuts) seperti steak: minimal 63–71°C
    Suhu ini dianggap aman untuk mematikan bakteri pada bagian luar daging.4,10

b. Ikan dan Makanan Laut

  • Ikan dan kerang: 63°C
    Ini adalah suhu minimal untuk memastikan patogen umum mati.5
  • Udang dan beberapa makanan laut lainnya: mencapai 85°C
    Suhu ini diperlukan untuk mematikan Listeria, Salmonella, dan patogen persisten lainnya.
    Sementara itu, beberapa spesies Vibrio dapat mati pada 55°C.6

c. Hidangan Telur

  • Hidangan telur: 71°C
    Telur setengah matang berisiko membawa Salmonella.5

d. Pemrosesan Termal Industri

  • Pasteurisasi & sterilisasi
    Teknik ini menggunakan panas terkontrol untuk menonaktifkan mikroorganisme berbahaya.7

2. Suhu Penyimpanan Aman (Safe Storage Temperatures)

a. Pendinginan

  • ≤ 4°C
    Makanan yang mudah rusak harus disimpan pada suhu ini untuk memperlambat pertumbuhan bakteri.4,10

    Termasuk untuk daging, chiller tidak boleh melebihi 8°C karena bakteri tumbuh sangat cepat di atas suhu tersebut. Untuk keamanan yang lebih tinggi, terutama pada karkas, digunakan suhu ≤ 3°C agar bakteri tetap dorman dan jumlah patogen menurun.17

    Sementara untuk sayuran dan buah-buahan, suhu ideal berkisar antara 5–10°C agar tekstur, warna, dan kandungan vitamin tetap stabil. Suhu yang terlalu rendah bisa merusak tekstur (chilling injury), membuat warna berubah, atau menurunkan kualitas sensori.18

b. Pembekuan

  • -18°C
    Suhu ini bisa mencegah pertumbuhan bakteri meski tidak mematikan semuanya.8

c. Penyimpanan Sisa Makanan

  • Sisa makanan harus didinginkan maksimal 2 jam setelah dimasak.4

3. Suhu Penyajian Aman (Safe Serving Temperatures)

  • Makanan panas: ≥ 60°C
  • Makanan dingin: ≤ 4°C
    Pada suhu ini makanan tetap aman saat disajikan dan pertumbuhan bakteri bisa dicegah.4,8

Meski pedoman suhu ini menjadi standar utama, beberapa ahli berpendapat bahwa pendidikan konsumen tentang penanganan makanan aman tidak kalah penting. Tanpa pemahaman yang benar, misalnya cara mencairkan bahan beku, mencegah kontaminasi silang, atau menyimpan makanan dengan benar, mengikuti suhu optimal saja mungkin belum cukup untuk mencegah keracunan makanan.

Jika suhu turun atau naik melewati batas aman, maka makanan masuk Danger Zone dan hanya aman disimpan maksimal 2 jam. Lebih dari 4 jam, maka sebaiknya sudah tidak boleh disajikan.

Baca Juga: Cara Menyimpan Makanan dengan AMAN – menurut Ahli Gizi

Bagaimana Pengecekan Suhu Dilakukan di Lapangan?

Termometer pangan digital atau inframerah bisa digunakan untuk mengukur suhu internal makanan dengan akurat. Pengukuran dilakukan dengan menancapkan probe ke bagian tengah makanan, bukan hanya permukaannya. Berikut ini praktik pengecekan suhu yang ideal, untuk memastikan keamanan pangan di seluruh rantai penyajian.12

1. Pengukuran Suhu Produk Menggunakan Termometer Pangan

Pengukuran suhu harus dilakukan di beberapa titik kritis, seperti:

  • setelah makanan selesai dimasak di dapur,
  • setelah proses pengemasan,
  • saat tiba di sekolah,
  • dan sesaat sebelum penyajian.

2. Kontrol Suhu Selama Distribusi

Distribusi adalah titik paling rentan dalam rantai penyajian makanan. Idealnya, makanan panas harus ditempatkan pada insulated container (wadah penghangat makanan) agar tetap ≥ 60°C. Sementara makanan dingin harus dijaga dengan ice packs atau kotak pendingin agar tetap ≤ 5°C.

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa suhu akhir makanan sering kali gagal dipertahankan, meskipun suhu awal sudah sesuai standar. Sebuah studi rumah sakit menemukan bahwa suhu awal memenuhi standar sebesar 92,95%, tetapi 100% suhu akhir tidak memenuhi standar akibat panas yang hilang sepanjang distribusi.13

Untuk memperkuat kontrol suhu, di beberapa negara, distribusi makanan ke sekolah sudah menggunakan Time-Temperature Indicator (TTI), yaitu label pintar yang bisa berubah warna ketika makanan terlalu lama berada di suhu tidak aman. Teknologi ini membantu petugas melihat kondisi keamanan makanan hanya dengan sekali lirik.

Meski inovasi ini belum digunakan di Indonesia, konsepnya memberi gambaran bahwa kontrol suhu sebenarnya bisa dilakukan secara lebih mudah dan akurat jika ada dukungan teknologi.14

3. Manajemen Holding Time

Selain suhu, durasi makanan ketika berada dalam zona bahaya (5–60°C) juga sangat menentukan tingkat risiko kontaminasi.

  • Makanan yang berada di zona bahaya lebih dari 2 jam: mulai berisiko tinggi.
  • Lebih dari 4 jam: tidak lagi aman untuk disajikan.

Penelitian menunjukkan bahwa durasi distribusi rata-rata sering melampaui waktu yang direkomendasikan. Ini menunjukkan perlunya manajemen waktu yang lebih baik dalam program makanan besar.13 Teknologi TTI kembali menjadi teknologi yang direomendasikan karena dapat memprediksi umur simpan berdasarkan paparan suhu.14

4. Sanitasi Alat Ukur

Termometer harus disanitasi secara konsisten, baik sebelum digunakan, setelah pengukuran, dan setiap kali berpindah ke menu yang berbeda.

Sanitasi alat ukur dapat mencegah kontaminasi silang yang dapat terjadi jika termometer digunakan pada banyak produk tanpa pembersihan. Studi menunjukkan bahwa daftar periksa sanitasi dan alat pemantauan kebersihan berperan penting untuk memudahkan kontrol.15

Tantangan Lapangan & Peluang Perbaikan untuk MBG

tantangan risiko suhu di lapangan program MBG
Sumber: Badan Gizi Nasional (https://www.bgn.go.id/news/artikel/inovasi-alat-canggih-kunci-durasi-masak-singkat-sppg)

Tidak semua sekolah memiliki fasilitas dasar untuk menjaga makanan pada suhu aman, padahal FDA Food Code (Food and Drug Administration, 2022) dan pedoman Kemenkes menekankan bahwa pengendalian suhu adalah kunci mencegah pertumbuhan bakteri. Banyak institusi masih kekurangan warmer cabinet, kulkas, insulated box, atau bahkan termometer pangan, sehingga risiko kontaminasi meningkat.15,16

Selaras dengan rekomendasi tersebut, pihak penyelenggara makanan dapat mengambil langkah dasar namun penting, yakni menyediakan checklist pengendalian suhu harian, melatih petugas dan koordinasi MBG, menggunakan wadah distribusi sesuai standar pangan, serta membuka kanal pelaporan cepat jika makanan tiba dalam suhu tidak aman. Dukungan teknologi seperti Time-Temperature Indicator (TTI) juga dapat membantu memantau fluktuasi suhu secara real time dan meningkatkan kepatuhan distribusi.13,14

Keamanan pangan bukan hanya soal bahan yang bergizi, melainkan proses yang terjaga. Dengan pengawasan suhu yang konsisten, SOP yang jelas, dan pelatihan yang tepat, kita dapat memastikan setiap kotak makan MBG benar-benar aman dikonsumsi.

Mari bersama mendorong SPPG, sekolah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk memperkuat sistem keamanan pangan agar manfaat MBG dirasakan sepenuhnya oleh setiap penerima.

Baca Juga: Menu Lokal Jadi Andalan MBG! Bagaimana Fakta di Lapangan?

Referensi

  1. Yulianti, R., Muhlishoh, A., Hasanah, L. N., Rosnah, S. A. L., & Sutrisno, E. (2022). Keamanan Dan Ketahanan Pangan. Padang: PT Global Eksekutif Teknologi. https://repository.stikespersadanabire.ac.id/assets/upload/files/docs_1702607565.pdf
  2. Shrestha, S., Riemann, M., Juneja, V. K., & Mishra, A. (2024). Evaluating the growth of Staphylococcus aureus during slow cooking of beef and turkey formulations from 10°C to 54.4°C for an extended time. Journal of Food Protection, 100445. https://doi.org/10.1016/j.jfp.2024.100445
  3. Zwietering, M. H. (2023). Temperature status of domestic refrigerators and its effect on the risk of listeriosis from ready-to-eat (RTE) cooked meat products. International Journal of Food Microbiology. https://doi.org/10.1016/j.ijfoodmicro.2023.110516
  4. da Silva, N., Taniwaki, M. H., Amstalden Junqueira, V. C., Ferraz de Arruda Silveira, N., Okazaki, M. M., & Romeiro Gomes, R. A. (n.d.). Clostridium Perfringens. https://doi.org/10.1201/9781315165011-12
  5. Peñuela, C., Simonne, A., & Valentin-Oquendo, I. (n.d.). Mantener Los Alimentos Seguros: Escoger Y Usar Termómetros En Casa. https://doi.org/10.32473/edis-fy1296-2012
  6. Determination of minimum safe cooking temperatures for shrimp to destroy foodborne pathogens. (2022). https://doi.org/10.31390/gradschool_theses.2035
  7. Maurya, N. K. (2025). Thermal Processing in Food Preservation: A Comprehensive Review of Pasteurization, Sterilization, and Blanching. Nutrition and Food Processing, 8(5), 01–07. https://doi.org/10.31579/2637-8914/307
  8. Peñuela, C., & Simonne, A. (n.d.). Manteniendo Los Alimentos Seguros: Almacenamiento Apropiado. https://doi.org/10.32473/edis-fy1294-2012
  9. Garden-Robinson, J. (2007). Keep Hot Foods Hot and Cold Foods Cold: a Foodservice Guide to Thermometers and Safe Temperatures. NDSu Extension Circular. https://library.ndsu.edu/ir/handle/10365/5208
  10. Food and Drug Administration. (2022). FDA food code 2022: Chapter 3 — Food. U.S. Department of Health and Human Services. https://www.c-uphd.org/documents/eh/2022-FDA-Food-Code-Chapter-3-Food.pdf?
  11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024, 23 Oktober). Menghindari keracunan makanan: Tips keamanan pangan untuk keluarga di rumah. Ayo Sehat – Kementerian Kesehatan RI. https://ayosehat.kemkes.go.id/menghindari-keracunan-makanan-tips-keamanan-pangan-untuk-keluarga-di-rumah
  12. de Lira, C. R. N. (2023). Inspeção das condições higienicossanitárias de alimentos e bebidas em eventos de massa. Desafios, 1(1). https://doi.org/10.20873/uftv1n123-13984
  13. Tavares, K. K. O., Bernardino, M. V., Canuto, M. C. de L., Conceição, M. A. D., & Barbosa, L. B. (2023). Análise do binômio tempo-temperatura na distribuição de dietas em uma Unidade de Alimentação e Nutrição Hospitalar. Nutrivisa. https://doi.org/10.59171/nutrivisa-2023v10e11397
  14. Albrecht, A., Ibald, R., Raab, V., Reichstein, W., Haarer, D., & Kreyenschmidt, J. (2020). Implementation of Time Temperature Indicators to Improve Temperature Monitoring and Support Dynamic Shelf Life in Meat Supply Chains. 4(1), 23–32. https://doi.org/10.1007/S41783-019-00080-X
  15. Matos, T. M., Girão, M. V. D., & Ferreira, F. V. (2022). Aspectos higiênico-sanitários e controle do binômio tempo e temperatura em unidades de alimentação e nutrição de um centro universitário. SaBios, 17(1), 1–12. https://doi.org/10.54372/sb.2022.v17.2967
  16. Waldhans, C., Albrecht, A., Ibald, R., Wollenweber, D., Sy, S.-J., & Kreyenschmidt, J. (2024). Temperature Control and Data Exchange in Food Supply Chains: Current Situation and the Applicability of a Digitalized System of Time–Temperature-Indicators to Optimize Temperature Monitoring in Different Cold Chains. Journal of Packaging Technology and Research. https://doi.org/10.1007/s41783-024-00165-2
  17. Wicaksani, A. L., & Adriyani, R. (2018). Penerapan HACCP dalam proses produksi menu daging rendang di inflight catering. Media Gizi Indonesia12(1), 88. https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/download/4893/4680/25049
  18. Kurniawati, D., Prasetyo, A., & Lestari, P. (2023). Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kualitas bahan makanan segar di instalasi gizi rumah sakit. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi, 6(1), 33–42. https://doi.org/10.57213/antigen.v3i4.918

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *