Sumber: Badan Gizi Nasional (https://www.bgn.go.id/news/artikel/menu-lokal-jadi-andalan-program-mbg-di-banda-aceh)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan baru yang paling banyak menyita perhatian publik. Selain karena cakupannya yang masif, pemerintah juga menegaskan bahwa MBG akan mengutamakan menu pangan lokal, mulai dari beras, sayur, hingga olahan protein nabati dan hewani. Namun, bagaimana praktiknya di lapangan? Apakah menu lokal benar-benar diutamakan di program ini?
Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan, Nani Hendiarti, menegaskan pentingnya sinergi untuk memaksimalkan pemanfaatan pangan lokal dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).¹
Kebijakan ini sejalan dengan Keputusan Kepala BGN Nomor 63 Tahun 2025, yang mewajibkan setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menyusun menu sesuai potensi pangan daerah. Pangan lokal terfortifikasi menjadi prioritas untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus menggerakkan ekonomi setempat.²
Setiap wilayah tentu memiliki tradisi makan dan komoditas yang berbeda. Daerah pesisir mengandalkan ikan, wilayah pertanian bertumpu pada beras, sayuran, tempe, dan tahu, sementara kawasan timur memakai jagung, ubi, sagu, dan daun kelor. Menu disesuaikan dengan budaya dan ketersediaan pangan masing-masing daerah.
BGN juga menetapkan standar produk olahan seperti roti, biskuit, sereal, dan olahan daging. Semua harus mengutamakan produsen lokal atau UMKM bersertifikasi halal, SNI, dan terdaftar BPOM, dengan masa edar maksimal satu minggu.³
Menu lokal menjadi kekuatan utama Program Makan Bergizi Gratis karena lebih sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan pangan, dan preferensi masyarakat. Ada beberapa alasan yang menjadikan pendekatan ini lebih efektif, yaitu:
Efektivitas pangan lokal ini tidak hanya tercermin secara teori, tetapi juga terasa dalam pengalaman para pelaku lapangan.
Di Jawa Tengah, para produsen tahu merasakan langsung dampak positif MBG. Sebelum program berjalan, mereka harus menjual ribuan biji tahu per hari tanpa kepastian permintaan. Kini, sebagian besar produksi terserap oleh dapur MBG sebagai sumber protein nabati. Permintaan yang stabil membuat usaha kecil lebih berdaya, sekaligus memastikan pasokan tahu untuk menu harian anak tetap terjangkau dan dekat dengan sumber bahan baku.8
Cerita serupa datang dari produsen tempe yang menjadi pemasok di SPPG Lanud Adi Soemarmo, Jawa Tengah. Sejak MBG berjalan, kebutuhan kedelainya meningkat dari satu kantong 50 kg menjadi tiga kantong setiap hari operasional. Lonjakan ini terjadi karena tempe dimasukkan dua kali dalam menu mingguan MBG. Permintaan yang konsisten membuat pendapatan UMKM ini naik dari sekitar 7 juta menjadi 11 juta per minggu. Tempe yang mudah diterima lidah anak-anak terbukti tidak hanya menyehatkan, tetapi juga menggerakkan UMKM lokal.9
Di Warungkiara, Sukabumi, petani beras merasakan MBG sebagai angin segar. Sebelum program berjalan, hasil panen sering tidak jelas terserap ke mana dan harganya fluktuatif. Melalui MBG, beras lokal kini memiliki pasar tetap dengan harga yang lebih stabil. Distribusi lebih lancar, panen tidak lagi terbuang, dan petani mendapat kepastian bahwa hasil kerja mereka memiliki tujuan jelas. Program ini bukan hanya mengisi piring anak-anak, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekonomi desa.10
Achsanu Nadia, Ahli Gizi SPPG Lamlagang Banda Raya, menyebut bahwa penggunaan menu lokal membuat anak-anak lebih lahap karena mereka sudah terbiasa dengan cita rasa khas daerah. Menu seperti Udang Masak Aceh dan Ikan Tumis Aceh disajikan dengan bumbu lokal yang akrab di lidah anak. Pendekatan ini mengurangi sisa makanan dan meningkatkan efektivitas program.11
Kisah lain datang dari Nur Salim, petani hortikultura dari Magelang. Program MBG membuka rantai pasok baru yang menghubungkan petani dan dapur MBG tanpa perantara. Sistem ini memberi petani kendali penuh atas hasil taninya sekaligus meningkatkan solidaritas antarpetani. Nur Salim menjadi figur penting yang menggerakkan para petani di desanya agar mampu memasok bahan segar bagi ribuan porsi MBG.12
Upaya mengutamakan pangan lokal dalam MBG adalah langkah strategis, namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Kapasitas dapur yang tidak merata, pasokan bahan yang berubah-ubah akibat cuaca atau harga, hingga minimnya peralatan di sebagian wilayah membuat standar menu sulit diterapkan secara konsisten. Di beberapa daerah terpencil, akses terhadap UMKM terverifikasi juga terbatas, sehingga kualitas bahan sering tidak konsisten dan distribusinya lebih mudah terganggu.
Baca Juga: 7 Potensi Penyebab KLB Keracunan MBG
Situasi ini menegaskan pentingnya transparansi data dan pengawasan berkala. Tanpa sistem yang jelas, sulit memastikan seluruh SPPG bekerja dengan standar yang sama, terutama terkait keamanan pangan, higienitas dapur, dan kompetensi tenaga masak.
Meski demikian, masyarakat bisa menunjukkan banyak inisiatif positif. Misalnya, ibu-ibu dapur MBG melakukan substitusi bahan dengan pilihan lokal yang lebih terjangkau, menanam sayuran cepat panen untuk menutup kekurangan pasokan, hingga membentuk kelompok dapur gotong-royong agar layanan tetap berjalan.
Kreativitas ini menjadi bukti bahwa tantangan di lapangan bisa lebih mudah diatasi jika pemerintah memberi pendampingan teknis, dan masyarakat mengadaptasinya dengan cara mereka sendiri berdasarkan pengalaman, kebiasaan, dan kreativitas lokal.
Dengan pengelolaan yang terukur, MBG dapat menjadi motor ketahanan pangan daerah, menghadirkan rantai pasok yang lebih pendek, kandungan gizi yang lebih segar, serta pemberdayaan nyata bagi petani dan UMKM lokal. Namun, potensi ini hanya dapat tercapai jika tiga pilar utama dibangun secara serius, yakni data yang transparan, pemeriksaan secara berkala oleh pihak yang tidak terlibat langsung, dan pendampingan teknis yang merata di seluruh daerah.
Inilah momentum untuk memastikan bahwa komitmen “mengutamakan pangan lokal” tidak berhenti pada slogan, tetapi benar-benar terasa di meja makan anak-anak Indonesia. Kini saatnya pemerintah daerah, SPPG, dan masyarakat bergerak bersama memperkuat sistem, agar manfaat MBG semakin luas dan berkelanjutan.
Baca Juga: Peran Ahli Gizi dalam Program MBG
Pernah dengar istilah adaptogen? Belakangan ini, tren minuman herbal penenang seperti teh ashwagandha, latte jamur…
Pernah merasa bingung saat anak kehilangan nafsu makan, terlalu membatasi makanan, atau bahkan takut menambah…
Pernah merasa gagal kalau langkah harianmu di smartwatch belum tembus 10.000? Tenang, kamu tidak sendirian.…
Ilustrasi | Gambar Minuman Pure Matcha (Sumber gambar: Freepik) Matcha kini menjadi salah satu minuman…
Pernah merasa cepat lelah, pusing, atau sulit fokus padahal sudah makan cukup? Bisa jadi tubuhmu…
Berapa kali kamu mendengar kalimat, “Yang penting defisit kalori, pasti turun berat badan”? Pada kenyataannya,…