Zat Gizi yang Dibutuhkan pada Penyakit Kusta

Tanggal 27 Januari diperingati sebagai Hari Kusta Sedunia. Kusta sangat terkait dengan asupan zat gizi yang cukup. Mari kita simak pada artikel berikut

Kusta

Penyakit kusta atau lepra merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Lepra dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular, sedangkan kusta tipe MB adalah kusta yang menular. Penyakit ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, bukan hanya dari segi medis seperti cacat fisik tetapi juga sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. ​1​

Masa inkubasi M. leprae bervariasi antara 3 sampai 5 tahun dan menyebar melalui tetesan udara dari pertukaran nasal dan oral pasien kusta multibasiler yang tidak diobati dan atau melalui impregnasi digital pada kulit. Lebih dari 99% populasi memiliki kekebalan alami yang memadai terhadap kusta dan 85% kasus klinis tidak menular. Selain itu, orang yang terinfeksi dapat menjadi tidak menular dalam 1 minggu dari dosis pertama pengobatan. Kusta terutama menyerang kulit dan saraf perifer mukosa saluran pernapasan bagian atas dan mata, menuju ke kerusakan saraf progresif dan permanen hingga kelainan bentuk hingga kelumpuhan.​2​

Faktor Risiko Penyakit Kusta

Berdasarkan studi jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita kusta dibanding perempuan yang berada pada usia produktif yaitu kisaran 15-64 tahun. Jenis pekerjaan yang ditekuni penderita adalah sebagai buruh tani yang merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak energi (berat). Lepra banyak dialami oleh individu dengan tingkat pendidikan rendah dan hygiene personal yang buruk. ​3​

Genetik merupakan faktor penting untuk kerentanan kusta. Melihat mekanisme kerentanan genetik inang dan manifestasi klinis pada studi observasi di Bangladesh dan Indonesia menunjukkan bahwa hubungan genetik sebagai faktor risiko lepra pada kontak antar anggota keluarga di samping faktor lain seperti usia kontak, klasifikasi indeks penyakit pasien, serta jarak fisik dan genetik yang berhubungan secara independen dengan risiko kontak terkena kusta.​4​ Diketahui bahwa gen PARK2 / PACRG dan NRAMP1 pada kromosom 6q25-q27 dan 2q35 berhubungan dengan kerentanan kusta. Sementara meningkatnya jumlah laporan menunjukkan bahwa respon imun bawaan memiliki peran kunci dalam menentukan kerentanan terhadap kusta dan reaksinya dengan regulasi genetik dari imunitas bawaan.​5​

Lepra dan Zat Gizi

Karena M. leprae adalah bakteri intraseluler, jadi pertahanan inang didasarkan pada imunitas yang dimediasi sel. Defisiensi protein bersama dengan asupan vitamin dan mineral yang tidak memadai atau rendah makanan bergizi dari berbagai kelompok makanan yang dikaitkan dengan penurunan imunitas yang diperantarai sel, yang membuat penderita kusta berisiko berkurang imunitasnya.​6​

Pasien kusta kurang memiliki akses sosial ekonomi, faktor kesehatan dan gizi dibandingkan dengan populasi non kusta. Faktor utama peningkatan risiko kusta antara lain pendapatan rendah, pengeluaran makanan, status gizi, dan skor keragaman makanan (Dietary Diversity Score) dengan tidak adanya stok pangan rumah tangga dan kekurangan pangan tahun lalu. Kelompok pasien lepra memiliki konsumsi makanan bergizi tinggi yang lebih rendah seperti daging, ikan, telur, susu, buah-buahan dan sayuran.​7​

Perjalanan penyakit infeksi tergantung pada faktor genetik pejamu dan dipengaruhi oleh status lingkungan dan gizi. Kekurangan gizi sering terjadi di daerah endemis kusta, sehingga ada kemungkinan bahwa presentasi klinis adalah akibat dari kekurangan gizi bersama dengan faktor lingkungan dan genetik dari host.​6​ Kualitas makanan yang rendah dikaitkan dengan yang risiko kusta yang lebih tinggi karena rendahnya asupan antioksidan yang mengganggu imunitas tubuh melawan M. leprae.​6​ Studi lain dengan subjek 58 pasien kusta menunjukkan bahwa kekurangan zat gizi menyebabkan penurunan kadar vitamin A (retinol) serum, C (asam askorbat), D (cholecalciferol), dan E (tokoferol), bersama dengan magnesium, selenium, dan seng.​8​

Vitamin A pada Lepra

Defisiensi zat gizi tidak hanya menyebabkan penekanan respon imun, tetapi juga kekurangan mikronutrien yang membantu menjaga integritas penghalang alami, dan itu fungsi sistem kekebalan. Karena peningkatan stres oksidatif, kebutuhan vitamin A meningkat pada pasien lepra. Vitamin A dibutuhkan untuk mengatur respon imunitas bawaan (seluler) dan didapat (humoral). Kekurangan vitamin A dikaitkan dengan penurunan fagositosis, ledakan oksidatif makrofag dan regulasi sel Natural Killer (NK).​6​ Sumber vitamin A antara lain hati, kuning telur, ubi jalar orange, wortel, bayam, kangkung, tomat, pepaya, dll.

Asam Askorbat pada Lepra

Vitamin C (asam askorbat) adalah faktor pendamping enzimatik dalam banyak proses metabolisme, terutama dalam proses reduksi oksidasi; jadi penting untuk pencegahan infeksi, dan kekurangannya mempengaruhi respon imun. Vit C juga membantu penyerapan zat besi dan inaktivasi radikal bebas. Sebagai antioksidan non-enzimatik, vitamin C membantu mengontrol peradangan yang diinduksi ROS sambil membunuh bakteri intraseluler seperti M. leprae; bersamaan dengan rusaknya kekebalan tubuh sistem melalui serangan oksidatif. ​6​

Suplementasi vitamin C sebesar 20 mg / kg berat badan/hari atau1-3 g per hari) dalam makanan dapat meningkatkan aktivitas neutrofil dan makrofag untuk membunuh mikroba. Kekurangan vitamin C berdampak buruk pada penyakit kusta.​6​ Makanan yang kaya vitamin C antara lain sayur dan buah seperti brokoli, daun pepaya, bayam, jeruk, jambu biji, pepaya, apel, dsb.

Baca Artikel : Konsumsi Vitamin C

Vitamin D dan Kusta

Mycobacterium leprae dan M. tuberculosis merupakan bakteri intraseluler dengan kesamaan pertahanan host, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D dapat menyebabkan peningkatan insiden tuberkulosis. Vitamin D receptor (VDR), banyak di jaringan dan sel, muncul sebagai respon biologis termasuk aktivitas imunomodulator dengan memodulasi fungsi sel penyajian antigen dan sel T. vitamin D dapat menginduksi produksi peptida antimikroba di makrofag terinfeksi yang membunuh Mycobacterium. Selain itu, vitamin D3 membantu penyebaran M. leprae dengan mendorong sel dendritik dan sel T-Regulasi dengan menghambat molekul ko-stimulasi dan menginduksi ekspresi FOXp3 dan produksi IL-10.​6​ Sumber vitamin D antara lain sinar matahari, ikan, kacang-kacangan, susu terfortifikasi, dll.

Tokoferol dan Kusta

Radikal bebas dan peroksidasi lipid menyebabkan penekanan respon imun. Vitamin E, antioksidan yang larut dalam lemak, melindungi membran lipid melawan peroksidasi. Vitamin E dalam bentuk paling aktifnya α ± -tocopherol, bereaksi dengan fosfolipid mitokondria, membran plasma dan retikulum endoplasma sebagai pertahanan pertama terhadap peroksidasi membran fosfolipid. Tokoferol membantu menetralkan reaksi ini dengan mendonasikan hidrogen fenol ke radikal bebas peroksil.

Penghambatan peroksidasi lipid oleh vitamin E biasanya dibantu oleh vitamin C untuk mengurangi glutathione dan NADPH, sebagai konsentrasi yang lebih tinggi vitamin E memiliki efek pro-oksidan. Sebuah studi pada penderita kusta pada awal pengobatan menunjukkan peningkatan stres oksidatif dengan tingkat peroksidasi lipid yang lebih tinggi karena radikal bebas terbentuk selama pembunuhan M. leprae yang dimediasi kekebalan.​6​ Adapun makanan yang mengandung vitamin E yaitu telur, kacang-kacangan, alpukat.

Zink dan Kusta

Seng dikenal dapat membantu pencegahan infeksi dan defisiensinya yang dapat berdampak negatif pada sistem imun karena respon sel T helper 1 (Th1) yang buruk dengan penurunan tingkat sitokin pro-inflamasi (IFN-γ, IL- 2, dan TNF-α) yang membantu mengendalikan patogen intraseluler termasuk M. leprae, tanpa mempengaruhi tingkat IL-4, IL-6, dan IL-10.​6​ Sumber zink antara lain daging sapi, telur, kacang-kacangan, bayam, seafood, keju, susu, dsb.

Selenium dan Kusta

Zat gizi selenium mempengaruhi aktivitas kemotaktik dan mikrobisidal pada komponen imun bawaan sintesis, memodulasi sintesis leukotrien dan meregulasi peroksida dalam sel imun. Namun, dosis selenium yang optimal diperlukan untuk fagositosis dan aktivitas limfositik, tetapi dosis yang lebih tinggi dapat menghambat. Studi klinis menunjukkan bahwa pasien TB, asma, dan HIV mengalami defisiensi zat gizi selenium, tetapi efeknya pada infeksi kusta belum diketahui.​6​ Pada makanan selenium terdapat di daging merah, telur, produk olahan susu, brokoli, dll.

Penyakit kusta dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan yang dapat menurunkan status antioksidan pasien. Pentingnya zat gizi, terutama keseimbangan protein dan mikronutrien perlu diselidiki, karena penyakit kusta membutuhkan waktu lama untuk berkembang, sehingga keseimbangan zat gizi dapat mengurangi risiko penularan penyakit.​6​

Referensi

  1. 1.
    Widoyono W. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan Pemberantasannya. 2nd ed. Erlangga; 2011.
  2. 2.
    WHO S. Operational Manual: Global Leprosy Strategy 2016-2020. WHO-SEARO/department of control of neglected tropical diseases; 2016.
  3. 3.
    Aning H, Haidah N, Nerawati A. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kejadian Penyakit Kusta (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kabupaten Sampang tahun 2018). Gema Kesehatan Lingkungan. 2018;16(1):238-247.
  4. 4.
    Moet FJ, Pahan D, Schuring RP, Oskam L, Richardus JH. Physical Distance, Genetic Relationship, Age, and Leprosy Classification Are Independent Risk Factors for Leprosy in Contacts of Patients with Leprosy. J INFECT DIS. Published online February 2006:346-353. doi:10.1086/499278
  5. 5.
    Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The Continuing Challenges of Leprosy. CMR. Published online April 2006:338-381. doi:10.1128/cmr.19.2.338-381.2006
  6. 6.
    Dwivedi VP, Banerjee A, Das I, et al. Diet and nutrition: An important risk factor in leprosy. Microbial Pathogenesis. Published online December 2019:103714. doi:10.1016/j.micpath.2019.103714
  7. 7.
    Wagenaar I, van Muiden L, Alam K, et al. Diet-Related Risk Factors for Leprosy: A Case-Control Study. Melby PC, ed. PLoS Negl Trop Dis. Published online May 12, 2015:e0003766. doi:10.1371/journal.pntd.0003766
  8. 8.
    Jyothi P, Riyaz N, Nandakumar G, Binitha M. A study of oxidative stress in paucibacillary and multibacillary leprosy. Indian J Dermatol Venereol Leprol. Published online 2008:80. doi:10.4103/0378-6323.38428

Ayu Rahadiyanti

Executive Editor Ahli Gizi ID | Lecturer | Writer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *