Sudahkah Hak Menyusui bagi Ibu Bekerja Terpenuhi ?

Oleh : Yuni Dwi Setiyawati ~ Ahli Gizi, Konselor laktasi, public health professional

Artikel sebelumnya telah membahas terkait makanan sehat bagi ibu menyusui. Namun sudahkah hak menyusui bagi Ibu bekerja dapat terpenuhi karena di era milenial ini, semakin banyak wanita menekuni berbagai bidang pekerjaan di luar rumah. Tidak sedikit yang bahkan menduduki posisi penting di tempat kerja. ​1​

Menurut data Bank Dunia, jumlah pekerja wanita di Indonesia bertambah dari 39,25% (2012) menjadi 39,30% (2017). Jumlah wanita yang berpartisipasi di dunia kerja selama kurun waktu 1990-2017 sangat fluktuatif. Saat ini tercatat lebih dari 102 juta lebih wanita usia 15 tahun ke atas berstatus pekerja, 25 juta diantaranya adalah wanita usia produktif.

Artinya, sangat mungkin sekali mereka yang berusia produktif akan menikah dan hamil, kemudian melahirkan dan berstatus sebagai ibu menyusui. Ibu bekerja rata-rata menghabiskan waktu 6-8 jam sehari di kantor.

Jika 25 juta wanita yang masih dalam rentang usia produktif ini berstatus sebagai ibu menyusui, artinya mereka memiliki waktu relatif lebih pendek bersama bayinya. Di sisi lain, konvensi internasional mendorong praktik pemberian ASI eksklusif, yaitu pemberian ASI saja bagi bayi usia 0-6 bulan, dilanjutkan anjuran menyusui hingga 2 tahun.

Konvensi global ini pun menjadi salah satu standar emas pemberian makan pada bayi dan anak yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia (WHO). Banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa praktik ASI eksklusif serta menyusui lanjutan hingga 2 tahun yang diikuti dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) saat usia bayi menginjak 6 bulan, dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi kronis pada Balita. Salah satu kondisi kronis yang masih menjadi prioritas utama di Indonesia adalah stunting (kerdil). Saat ini tercatat 1 dari 3 anak Indonesia usia di bawah 5 tahun mengalami stunting.

https://pixabay.com/id/photos/laktasi-dada-bayi-menyusui-keibuan-3508242/

Kurangnya dukungan tempat kerja menjadi faktor rendahnya capaian ASI Ekslusif

Pada tahun 2015 silam, ibu Menteri Kesehatan RI, Nila F. Moeloek, dalam pidatonya yang bertepatan dengan Pekan ASI Sedunia (PAS) menyebutkan bahwa salah satu faktor rendahnya cakupan ASI eksklusif di Indonesia disebabkan karena rendahnya dukungan bagi ibu menyusui. Kondisi ini utamanya terjadi di tempat kerja.

Realita saat ini pun masih sama, mayoritas kantor diketahui tidak memiliki ruang laktasi/menyusui. Dengan jatah cuti yang diberikan selama maksimal 3 bulan bagi ibu hamil/menyusui, pemberian ASI eksklusif terancam gagal karena seyogyanya ibu membutuhkan waktu minimal 6 bulan agar sukses menyusui eksklusif.

Peraturan yang memuat “wajibnya” dukungan menyusui bagi ibu bekerja

Menelaah aturan yang berlaku secara global maupun nasional di Indonesia, pemenuhan hak ibu untuk menyusui bayi dan hak anak untuk mendapat ASI sudah banyak tertuang dalam aturan-aturan tertulis.

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) khususnya pasal 6 dan pasal 24 (2.a, 2.c), mendorong agar anak mendapat makanan terbaik, bergizi serta pengasuhan yang optimal. Ini menjadi dasar bahwa ibu bekerja harus tetap menyusui anaknya.

Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No. 183 & 191 tentang Perlindungan Ibu juga menyebutkan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan waktu istiharat (lebih dari sekali sehari), ataupun memperoleh pengurangan jam kerja (dengan tetap mendapat gaji) untuk menyusui anaknya atau untuk memerah/memompa ASI.

Dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 27 disebutkan bahwasetiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam arti luas, ibu bekerja tetap mendapatkan hak bekerja yang layak termasuk menyusui anaknya. Sebab, menyusui bayi adalah hak asasi manusia. Dalam Pasal 28B ayat 2 juga ditegaskanbahwasetiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, salah satunya adalah hak mendapatkan ASI.

Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 83 serta UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 49 ayat 2 juga menyebutkan secara implisit dukungan menyusui, khususnya bagi ibu bekerja.

Lebih tegas lagi dalam UU 49/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 128 (1) disebutkan bahwabayi berhak mendapatkan ASI, minimal ASI eksklusif 6 bulan, dan pemberian ASI dapat diteruskan sampai 2 tahun atau lebih.

Dalam Pasal 129 (2) termaktub bahwa selama pemberian ASI, keluarga, pemerintah, pemda, dan masyarakat harus mendukung ibu secara penuh dengan menyediakan waktu dan fasilitas menyusui.Sementara dalamPasal 200 ditegaskan adanya sanksi pidana bagi mereka yang menghalangi program pemberian ASI eksklusif.

Lebih khusus lagi, Keputusan Menteri Kesehatan No. 450 tahun 2004 juga menegaskan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayi.

Dalam peraturan bersama tiga kementrian yaituPeraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan NOMOR 48/MEN.PP/XII/2008, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi PER.27/MEN/XII/2008, serta Menteri Kesehatan RI 1177/MENKES/PB/XII/2008 ditegaskan pula agar ibu bekerja mendapat kesempatan untuk memberikan atau memerah ASI selama waktu kerja, dan menyimpan ASI perah untuk diberikan kepada anaknya.

Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat hukum yang sedemikian lengkapnya untuk mendukung ibu bekerja agar tetap dapat menyusui bayinya. Akan tetapi pelaksanaan aturan di lapangan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Bentuk Konkret dukungan tempat kerja bagi ibu menyusui

Berikut ini merupakan beberapa bentuk nyata dukungan bagi ibu menyusui, khususnya di tempat kerja:

Pertama, menyediakan ruang laktasi/menyusui. Tiap kantor diwajibakn memiliki ruang laktasi dengan kelengkapan fasilitas pendukung menyusui terstandar. Kantor dapat berkonsultasi dengan institusi kesehatan atau konselor menyusui independen untuk mendapatkan saran ruang laktasi yang memenuhi syarat.

Kedua, memberikan akses bagi ibu untuk mengunjungi konselor menyusui. Seringkali ibu bekerja kebingungan mencari dukungan praktis terutama saat mengalami kesulitan menyusui. Contoh kesulitan yang sering dialami terkait dengan manajemen menyusui saat ibu kembali bekerja. Ibu kebingungan bagaimana memerah ASI, bagaimana menyimpan ASI yang baik, dan lain-lain. Dalam hal ini, kantor dapat bekerjasama dengan institusi kesehatan atau konselor menyusui independen agar ibu mendapat pelayanan konseling ASI.

Ketiga, memberikan kelonggaran waktu bekerja bagi ibu untuk menyusui bayi. Sebagai contoh, ibu diizinkan pulang untuk menyusui bayinya atau lebih praktis lagi ibu diperbolehkan membawa bayi ke tempat kerja dengan syarat tempat kerja memberikan dukungan berupa fasilitas menyusui yang memadai. Ada juga kantor yang mengizinkan ibu menyusui untuk pulang kerja lebih awal sebagai bentuk kepedulian bagi pemenuhan hak ibu dan bayi.

Keempat, menyediakan tempat penitipan anak di tempat kerja. Tersedianya tempat penitipan anak di sekitar lingkungan kantor dapat memudahkan ibu ketika hendak menyusui

Kelima, mendukung dan mengawal aturan pemberian cuti menyusui minimal 6 bulan bagi ibu serta cuti bekerja bagi ayah di pekan pertama kelahiran bayi. Untuk menyukseskan ASI eksklusif diperlukan juga aturan cuti bagi ibu menyusui minimal 6 bulan. Mengingat pasangan juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya, maka suami juga sebaiknya diberikan jatah cuti pada pekan-pekan awal kelahiran bayi.

Masa ini merupakan momen pertama yang penting bagi orang tua untuk meningkatkan bonding (ikatan) dengan bayi. Ibu juga membutuhkan banyak bantuan praktis dari pasangan selama proses pemulihan pasca persalinan. Dukungan nyata tempat kerja bagi ibu menyusui merupakan poin penting untuk mewujudkan pemberian ASI eksklusif. Suksesnya menyusui eksklusif dapat menurunkan angka kesakitan pada bayi, mengurangi hari absen ibu, meningkatkan produktivitas ibu yang selanjutnya dapat mendorong naiknya kinerja kantor tempat ibu bekerja. Kolaborasi lintas sektor untuk menyukseskan ASI eksklusif ini juga dapat menghilangkan dikotomi yang mengharuskan ibu memilih antara bekerja atau menyusui bayi. Secara ideal, kedua hal ini seharusnya berjalan beriringan. Mari bersama-sama dukung ibu bekerja untuk tetap menyusui!

Catatan :

Artikel berikut diterbitkan di harian Flores Pos edisi 15, 16 dan 18 November 2019

Referensi

  1. 1.
    Dwi Setiyawati Y. Sudahkkah hak menyusui bagi ibu bekerja terpenuhi ? Harian Flores. November 2019:10.

AhliGiziID

informasi gizi berbasis fakta ilmiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *